Terasmuslim.com - Bulan Muharram tak hanya dikenal sebagai awal tahun baru Islam, tetapi juga sebagai momen spiritual yang sarat makna. Di berbagai daerah Indonesia, masyarakat merayakan Muharram bukan sekadar dengan doa dan zikir, tapi juga melalui tradisi kuliner yang khas, menggugah selera sekaligus menyentuh sisi keimanan.
Dalam konteks sejarah Islam, Muharram—terutama pada tanggal 10 yang dikenal sebagai Hari Asyura—memiliki kedalaman spiritual tersendiri. Hari ini memperingati penyelamatan Nabi Nuh, Nabi Musa, Bani Israel dari Firaun hingga peristiwa tragis wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husain bin Ali, di Padang Karbala. Selain menjadi refleksi kesedihan, Asyura di Indonesia juga menjadi momentum untuk menebar kebaikan, salah satunya lewat makanan: bentuk syukur, solidaritas sosial, dan doa bersama.
Menghimpun berbagai sumber berikut delapan kuliner khas Muharram yang hidup dalam tradisi masyarakat Indonesia. Unik, sarat makna, dan tentu saja... lezat!
Beras yang dimasak dengan santan, aneka sayur, dan lauk sederhana ini menjadi simbol syukur atas keselamatan. Konon, terinspirasi dari kisah Nabi Nuh AS yang membuat bubur serupa usai selamat dari banjir besar.
Bubur Suro biasanya dibagikan ke tetangga dan sanak saudara di awal Muharram. Dalam tradisi Jawa dan Madura, ini jadi momen memperkuat tali silaturahmi lewat semangkuk bubur hangat.
Versi lebih kaya dari Bubur Suro. Tajin Sorah disajikan dengan topping suwiran ayam, telur dadar iris, kacang goreng, dan siraman kuah kental. Keunikan lainnya? Tradisi “ter-ater” atau saling mengantar makanan antartetangga yang mempererat komunitas lokal.
Dikenal luas di Kalimantan, Sumatra, hingga Sulawesi, bubur ini istimewa karena dibuat dari berpuluh-puluh bahan, mulai dari biji-bijian, rempah, daging, hingga santan. Di Banjarmasin, resepnya bahkan mencapai 41 bahan!
Bubur Asyura dimasak beramai-ramai dan dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk solidaritas sosial, terutama pada 10 Muharram.
Di Desa Namalean, Maluku, kaum perempuan secara khusus memasak Bubur Parang untuk memperingati wafatnya Sayyidina Husain. Bubur ini dibagikan setelah doa Asyura, menciptakan suasana khidmat dalam kebersamaan.
Nasi tumpeng berwarna kuning atau putih dengan aneka lauk ini menjadi simbol harapan baik di tahun baru Islam. Bentuk kerucutnya melambangkan penghambaan kepada Tuhan, sementara lauk-pauknya menyiratkan rezeki dan doa.
Tumpeng ini hadir dalam berbagai acara Muharram seperti Kirab 1.000 Tumpeng di Magelang, Pawai Tumpeng Massal di Kediri, atau Sedekah Tumpeng di Bojonegoro.
Kue apem—terbuat dari tepung beras, santan, dan gula merah—sering dibagikan dalam syukuran awal Muharram. Dalam filosofi Jawa, apem berarti permintaan maaf. Maka tak heran, kue ini menjadi simbol refleksi dan pengampunan.
Di Bantul dan sekitarnya, masyarakat menggelar ambengan, yaitu makan bersama dari satu wadah besar. Tradisi ini umumnya dirangkai dengan pengajian, doa bersama, serta santunan anak yatim, terutama pada malam Asyura.
Di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, bubur Asyura dimasak sembari dilantunkan doa barzanji dan zikir. Bubur ini mengandung aneka biji-bijian, sayur, dan potongan daging. Setelah acara doa, bubur dibagikan kepada jamaah sebagai bentuk berkah.
Tradisi kuliner Muharram bukan hanya soal rasa, tapi juga sarat makna. Setiap suapan adalah pengingat akan nilai-nilai luhur Islam: syukur, empati, doa, dan solidaritas. Dari pulau ke pulau, warisan ini menunjukkan betapa Indonesia memadukan kekayaan budaya dengan spiritualitas Islam dalam cara yang indah dan lezat.