Jakarta, Terasmuslim.com - Nama Ayatollah Sayyid Ali Khamenei kembali menjadi sorotan publik internasional seiring meningkatnya tensi antara Iran dan Israel pada pertengahan Juni 2025.
Sosoknya, yang selama lebih dari tiga dekade menjadi Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, tampil ke publik dan menyampaikan pesan kemenangan usai gencatan senjata diumumkan.
Namun, siapa sebenarnya Ali Khamenei? Bagaimana latar belakangnya hingga menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Iran?
Ali Khamenei lahir pada 19 Juli 1939 di kota suci Mashhad, Iran, dari keluarga religius yang memiliki garis nasab ulama terkemuka. Ayahnya, Sayyid Hussein Khamenei, adalah seorang ulama moderat yang dikenal luas di kalangan Syiah.
Sementara dari jalur ibunya, Khamenei mewarisi keturunan dari Ayatollah Sayyid Hashem Najafabadi Mirdamadi, seorang tokoh agama berpengaruh dari Najaf.
Berasal dari keluarga Sayyid, Ali Khamenei dipercaya memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Imam Husain dan Imam Zainal Abidin.
Gelar "Sayyid" yang melekat pada namanya menjadi tanda bahwa ia adalah bagian dari Ahlul Bait, keluarga Nabi yang dihormati dalam tradisi Islam, khususnya Syiah. Dalam tradisi keilmuan Islam, garis keturunan ini memberi legitimasi spiritual tambahan bagi kepemimpinannya.
Khamenei menempuh pendidikan agama sejak usia dini. Ia mempelajari fiqih, hadis, tafsir, dan filsafat Islam di hawzah (lembaga pendidikan agama) di Mashhad dan kemudian melanjutkan ke Qom.
Di masa mudanya, ia mulai aktif menentang kekuasaan monarki Dinasti Pahlavi yang dinilai represif terhadap kalangan ulama. Akibat aktivitas politik ini, ia berulang kali ditahan, disiksa, dan bahkan sempat diasingkan selama beberapa tahun di Iranshahr.
Pertemuannya dengan Ayatollah Ruhollah Khomeini pada tahun 1976 menjadi titik balik penting. Khamenei menjadi salah satu pendukung utama revolusi Islam Iran yang berhasil menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi pada 1979.
Pasca revolusi, Khamenei dipercaya mengisi sejumlah posisi strategis seperti anggota Dewan Revolusi, Imam Shalat Jumat Tehran, serta menjabat sebagai Presiden Iran selama dua periode (1981–1989).
Setelah wafatnya Ayatollah Khomeini pada 1989, Majelis Khobregan (Majelis Ahli) memilih Khamenei sebagai Rahbar (Pemimpin Tertinggi) Republik Islam Iran.
Sejak saat itu, ia memegang kendali tertinggi atas pemerintahan, militer, yudikatif, dan kebijakan luar negeri. Dalam struktur negara Iran, posisi ini berada di atas presiden dan parlemen, menjadikan Khamenei sebagai tokoh paling berpengaruh dalam semua urusan strategis.
Di mata para pendukungnya, Ali Khamenei adalah simbol keteguhan dan prinsip revolusi Islam. Ia dikenal sangat vokal dalam menentang dominasi Barat, terutama Amerika Serikat dan Israel, yang disebutnya sebagai ancaman bagi kedaulatan negara-negara Muslim.
Dalam banyak pidatonya, Khamenei menekankan pentingnya istiqamah, ketahanan ideologis, dan keteladanan moral dalam kepemimpinan.
Meski sering menjadi sasaran kritik dari kelompok oposisi, di internal Iran Khamenei tetap menjadi figur yang disegani. Ia bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga marja’ taqlid—ulama panutan yang dijadikan rujukan dalam hal-hal keagamaan oleh jutaan Syiah di seluruh dunia.
Ali Khamenei kini telah menjabat sebagai Pemimpin Tertinggi Iran selama lebih dari 35 tahun. Dalam masa yang panjang ini, ia telah menyaksikan dan mengarahkan Iran melalui berbagai krisis, termasuk perang dengan Irak, sanksi ekonomi global, dan dinamika geopolitik kawasan Timur Tengah.
Terlepas dari berbagai tantangan, posisinya tetap kokoh—menjadikannya sebagai salah satu pemimpin terlama dan paling berpengaruh di dunia Muslim kontemporer.