Terasmuslim.com - Baru-baru ini Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengutuk keras sebuah kartun satir yang memicu kemarahan publik. Kartun itu menggambarkan Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS berjabat tangan di langit, sementara di bawahnya terlihat rudal beterbangan, menggambarkan perang antara Israel dan Iran.
Kartun tersebut dianggap sebagai provokasi keji dan tidak menghormati nilai-nilai keagamaan yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Tak lama setelahnya, empat kartunis ditangkap otoritas Turki karena dianggap telah melampaui batas dalam berekspresi.
Kasus ini bukan yang pertama. Sebelumnya, umat Islam juga berkali-kali tersinggung oleh karikatur Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan oleh sejumlah media Eropa, termasuk di Prancis.
Muncul pertanyaan, mengapa umat Islam begitu marah ketika Nabi Muhammad SAW digambarkan? Padahal dalam agama lain, seperti Kristen, visualisasi Yesus dianggap lumrah dan bahkan menjadi bagian dari seni religius. Berikut adalah ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.
Jawaban atas pertanyaan di atas tidak sesederhana sekadar perbedaan budaya. Dalam Islam, larangan menggambarkan nabi bukan hanya soal bentuk, tetapi menyangkut prinsip teologis yang mendalam.
Prof. Quraish Shihab, cendekiawan Muslim sekaligus mufasir terkemuka, dalam berbagai ceramahnya menjelaskan bahwa pelarangan ini bertujuan menjaga kehormatan nabi dari penyalahgunaan dan pelecehan. Ia menegaskan, jika sosok Nabi digambarkan, maka akan sangat mungkin terjadi penyimpangan, baik dalam bentuk visual maupun makna.
Menurutnya, walaupun ciri fisik Rasulullah SAW banyak diriwayatkan oleh para sahabat, hal itu bukan untuk divisualisasikan secara harfiah. Sebab siapa pun yang mencoba menggambarkan Nabi SAW berisiko menampilkan citra yang tidak sesuai dengan keagungan pribadinya.
Visualisasi, menurut Quraish, berpotensi menciptakan pemujaan berlebihan terhadap figur. Bahkan, bila Nabi digambarkan dalam film lalu tokohnya berperilaku buruk di kehidupan nyata, hal itu bisa mencoreng citra Rasulullah SAW.
Ia menambahkan bahwa pelarangan ini didasarkan pada kaidah fikih sadduz zara’i, yaitu menutup celah yang bisa membawa kepada kerusakan. Oleh karena itu, bahkan niat baik pun tidak cukup untuk membenarkan visualisasi nabi.
Islam memandang bahwa menjaga kemurnian ajaran dan akhlak Rasulullah SAW lebih penting dibanding kebebasan seni. Dalam tradisi Islam, pesan dan keteladanan beliau diteladani lewat akhlak, bukan rupa.
Berbeda dengan tradisi seni Kristen di Eropa yang telah melalui proses sekularisasi dan modernisasi. Di sana, gereja tidak lagi menjadi otoritas tertinggi dalam menentukan batas-batas kebebasan ekspresi.
Di sisi lain, dalam Islam, agama masih menyatu erat dengan kehidupan sosial dan publik. Karena itu, pelecehan terhadap nabi dipandang sebagai serangan terhadap keyakinan kolektif, bukan sekadar hinaan personal.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, bukan hanya Nabi Muhammad SAW yang tidak boleh divisualisasikan. Semua nabi dan rasul, termasuk Nabi Isa dan Nabi Musa, mendapat perlakuan yang sama demi menjaga kemuliaan mereka.
Larangan ini juga bersumber dari sejarah umat-umat terdahulu yang tergelincir dalam pengkultusan figur. Banyak dari mereka akhirnya menyembah patung atau gambar para nabi, dan menyimpang dari ajaran tauhid.
Sebagian mungkin bertanya, bukankah ada riwayat yang menyebutkan ciri-ciri fisik Nabi Muhammad SAW secara rinci? Jawabannya iya, tetapi penjelasan itu bukan untuk menciptakan gambar, melainkan untuk mengenal dan membayangkan beliau secara spiritual.
Prof. Quraish Shihab dalam berbagai penjelasannya menyebutkan, Nabi memiliki tinggi badan sedang, rambut hitam bergelombang, wajah bercahaya, dan mata hitam yang tajam. Beliau juga berpenampilan rapi, berjalan dengan penuh wibawa, dan berbicara dengan bahasa yang sesuai lawan bicaranya.
Deskripsi serupa juga ditulis dalam buku “Muhammad, The Untold Stories” karya Husain Sayidi. Di dalamnya, disebutkan bahwa rambut Nabi memanjang hingga telinga, janggutnya lebat namun rapi, wajahnya putih dan bersinar, dan tubuhnya berotot namun seimbang.
Namun semua itu tidak serta merta menjadi alasan untuk melukis wajah beliau. Karena yang dituju bukan bentuk fisik, melainkan penghayatan terhadap akhlak dan misi kenabian.
Nabi Muhammad SAW bukan sekadar tokoh sejarah, beliau adalah panutan yang dijaga dari kekeliruan manusia dalam menggambarkannya. Oleh sebab itu, Islam menghindari segala bentuk representasi visual yang bisa membawa pada kesalahpahaman atau penyimpangan.
Selain itu, ada risiko serius bahwa gambar atau film tentang Nabi SAW bisa digunakan untuk tujuan penghinaan. Apalagi di era digital saat ini, konten bisa disebar dengan sangat cepat dan tanpa batas.
Sebagian pelaku seni beralasan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak asasi. Namun dalam Islam, hak tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab, terutama bila menyangkut hal yang sangat suci dan dimuliakan.
Kebebasan tidak boleh digunakan untuk melukai keyakinan. Karena bagi umat Muslim, menghormati Nabi Muhammad SAW adalah bagian dari iman.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ahzab: 56,
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
Dari ayat tersebut, jelas bahwa posisi Nabi Muhammad SAW sangat tinggi di hadapan Allah dan umatnya. Maka menjaga kehormatan beliau adalah kewajiban bersama.
Larangan menggambarkan Nabi bukan berarti Islam anti seni. Justru seni dalam Islam diarahkan untuk memperkuat iman dan akhlak, bukan merusak nilai.
Dengan memahami alasan-alasan ini, kita bisa melihat bahwa pelarangan visualisasi nabi adalah bentuk penjagaan terhadap nilai-nilai sakral. Islam memilih untuk tidak bermain-main dalam wilayah yang sangat suci ini.
Maka ketika ada pihak yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW, apalagi dengan niat mengejek, umat Islam wajar merasa terhina. Karena yang diserang bukan hanya gambar, tapi inti dari keimanan mereka.
Sebagai penutup, mencintai Nabi bukan dengan melihat lukisannya, tapi dengan mengikuti ajaran dan akhlaknya. Karena Rasulullah SAW diutus bukan untuk ditonton, melainkan untuk dijadikan teladan dalam hidup. (*)
Wallohu`alam