• KEISLAMAN

Batasan Umur Anak Yatim dan Cara Memeliharanya Menurut Quraish Shihab

Agus Mughni Muttaqin | Jum'at, 04/07/2025
Batasan Umur Anak Yatim dan Cara Memeliharanya Menurut Quraish Shihab Ilustrasi berbagi kebahagian bersama anak yatim (Foto: Pngtree)

Terasmuslim.com - Anak yatim memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam Islam. Rasulullah ﷺ bahkan memberikan perhatian khusus kepada mereka dan menjanjikan balasan surga bagi siapa pun yang merawat anak yatim dengan penuh kasih sayang.

Namun, banyak yang belum mengetahui hingga usia berapa seseorang masih disebut sebagai anak yatim menurut syariat. Padahal, memahami batasan ini penting agar perhatian dan bantuan yang diberikan tetap sesuai dengan tuntunan Islam, termasuk dalam memeliharanya.

Secara bahasa, kata "yatim" berarti sendiri atau kehilangan. Hal senada disampakain oleh cendikiawan Muslim Indonesia M Quraish Shihab. Dalam sebuah ceramahnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “yatim” secara bahasa berarti sendiri, terputus, atau unik. Dalam Al-Qur’an, istilah ini merujuk pada seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya sebelum ia dewasa, yakni belum mencapai usia baligh.

Namun, karena makna asalnya adalah ketersendirian, sebagian ulama memperluas pemahamannya menjadi anak-anak yang hidup tanpa perlindungan, bimbingan, atau perhatian dari keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks ini, anak jalanan pun dapat termasuk dalam kelompok yang memiliki hak atas perhatian lebih dari umat Islam.

Pandangan ini tidak bertentangan dengan spirit ajaran Islam. Bahkan, sejalan dengan misi sosial Al-Qur’an yang sejak awal turun sudah menekankan perhatian terhadap anak-anak yang rentan. Ayat-ayat Makkiyah seperti “Tahukah kamu siapa orang yang mendustakan agama? Yaitu yang menghardik anak yatim” menempatkan urusan anak yatim sebagai indikator keimanan seseorang terhadap agama.

Karena itu, perhatian terhadap anak yatim tidak boleh semata-mata bersifat material. Dalam fase awal dakwah, Al-Qur’an lebih dulu menyoroti sisi psikologis dan mental anak yatim—melarang menghardik, menyakiti, atau mengabaikan mereka.

Setelah itu barulah perintah memberi makan, memberi bantuan, dan menjamin kebutuhan lahiriah mereka diturunkan. Urutannya bukan kebetulan, karena Islam menekankan bahwa membangun kepercayaan diri anak yatim lebih penting daripada sekadar bantuan sesaat.

Quraish Shihab menegaskan bahwa jika hanya memberi uang, namun membiarkan anak itu tumbuh tanpa bimbingan, maka kita belum benar-benar memelihara mereka. Sebaliknya, jika kita membina mental dan memberikan pendidikan yang membangun, maka meski mereka tidak memiliki banyak materi, mereka tetap bisa bertahan dan menolong dirinya sendiri.

Inilah pemahaman yang lebih utuh tentang pemeliharaan anak yatim dalam Islam. Bukan hanya berbagi sedekah di hari tertentu, tetapi juga memberikan ruang tumbuh bagi anak-anak yatim agar mandiri, percaya diri, dan tidak kehilangan arah.

Momentum seperti 10 Muharram tentu baik digunakan untuk meningkatkan perhatian terhadap anak-anak yatim. Namun yang lebih penting dari sekadar merayakannya, adalah menjadikan hari itu sebagai pengingat akan tanggung jawab sosial kita sepanjang waktu.

Pemeliharaan yang sejati tidak cukup dengan memberikan santunan. Ia harus hadir dalam bentuk kasih sayang, pendidikan, perhatian, dan pembinaan jangka panjang yang membentuk masa depan anak-anak yatim secara utuh.

Karena itu, jika kita ingin menjadikan “Lebaran Anak Yatim” lebih bermakna, maka mulai dari sekarang kita perlu mengubah cara pandang. Dari yang sekadar memberi, menjadi yang benar-benar membersamai.