Terasmuslim.com - Hari Asyura yang jatuh setiap tanggal 10 Muharram merupakan salah satu momentum paling penting dalam sejarah Islam. Hari ini dikenang bukan hanya sebagai hari kesedihan, tetapi juga hari penuh hikmah dan nilai spiritual mendalam bagi umat Muslim.
Pada tahun 2025, Asyura diperingati pada Minggu, 6 Juli, bertepatan dengan Sabtu petang, 5 Juli, menurut kalender Hijriyah Kementerian Agama Republik Indonesia. Namun, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan 10 Muharram lebih awal, yaitu pada Sabtu, 5 Juli.
Perbedaan ini tidak mengurangi kekhidmatan umat Islam dalam memperingatinya, sebab esensinya tetap sama: mengenang sejarah besar dan memperkuat ketakwaan. Di Indonesia, peringatan Asyura justru tampil dalam keragaman bentuk dan makna yang mencerminkan kekayaan spiritual serta budaya lokal.
Indonesia yang plural secara budaya dan mazhab menjadikan Asyura bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga momen perenungan dan penguatan ukhuwah. Dari Aceh hingga Papua, berbagai tradisi turun-temurun masih hidup dan terus diwariskan dari generasi ke generasi. Berikut adalah ulasannya yang dihimpun dari berbagai sumber.
Salah satu tradisi paling mencolok adalah Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, yang berasal dari kata Arab tabut atau peti jenazah. Warga setempat mengarak replika keranda Imam Husein yang dihiasi megah, sebelum akhirnya dilarung ke laut sebagai simbol pelepasan duka.
Tabuik mulanya dibawa oleh pasukan Muslim keturunan Syiah dari India pada abad ke-19, namun kini telah menjadi milik bersama warga Pariaman lintas mazhab. Tradisi ini bukan lagi semata urusan teologis, tetapi sudah menjadi representasi warisan budaya yang memperkaya identitas keislaman lokal.
Selain itu, banyak daerah memperingati Asyura dengan membuat Bubur Asyura secara gotong royong, yang melambangkan kebersamaan dan rasa syukur. Bubur ini berisi campuran beras, sayur, rempah, dan kadang ditambah lauk-pauk sederhana seperti ayam dan telur.
Tradisi memasak bubur ini juga memiliki akar spiritual yang dalam, sebab menurut kitab I’anah Thalibin, bubur tersebut menyerupai hidangan Nabi Nuh AS saat kapalnya berlabuh pada hari Asyura. Beliau memasak tujuh jenis biji-bijian sebagai bentuk syukur setelah selamat dari banjir besar.
Di banyak pesantren dan lingkungan masyarakat, puasa sunnah 9 dan 10 Muharram dilakukan sebagai bagian dari amalan utama bulan ini. Asyura juga disebut sebagai Lebaran Anak Yatim, karena terdapat anjuran kuat untuk menyantuni mereka di hari tersebut.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, Allah akan mengangkat derajatnya setiap helai rambut yang disentuh tangannya." Tradisi ini pun hadir dalam bentuk santunan, pembagian makanan, dan pengajian yang memperkuat empati sosial.
Peringatan Asyura juga ramai dengan kegiatan zikir bersama, tabligh akbar, serta ceramah tentang sejarah Karbala. Meskipun tragedi ini dikenal sebagai bagian dari sejarah Syiah, nilai perjuangan Imam Husein tetap menjadi inspirasi moral bagi banyak kalangan Sunni.
Di tengah banyaknya tafsir terhadap Karbala, pesan utamanya tetap relevan: bahwa melawan ketidakadilan dan menegakkan kebenaran adalah prinsip Islam yang universal. Dalam narasi spiritual masyarakat Indonesia, Imam Husein dikenang bukan semata karena wafatnya, melainkan karena keberanian dan keteladanannya.
Di wilayah Jawa dan Nusa Tenggara Barat, masyarakat memperingati Asyura dengan kenduri atau selamatan, menghadirkan sajian khas seperti nasi tumpeng dan aneka lauk tradisional. Kenduri ini menjadi ajang doa bersama dan memperkuat silaturahmi antarwarga.
Tradisi semacam ini memperlihatkan bagaimana ajaran Islam bisa berbaur secara harmonis dengan budaya lokal tanpa kehilangan substansi religiusnya. Spirit yang dibawa tetap sama, yakni rasa syukur, kebersamaan, dan pengharapan akan keberkahan di tahun baru Hijriyah.
Di sebagian kalangan Syiah, Asyura merupakan hari berkabung yang sangat penting karena mengenang syahidnya Imam Husein di Padang Karbala pada 10 Muharram 61 Hijriyah. Sekitar 72 pengikut setianya gugur dalam peristiwa tragis yang menjadi simbol perlawanan terhadap kezaliman.
Catatan sejarah bahkan menyebutkan bahwa usai tragedi itu, langit memerah dan terjadi gerhana, seakan-akan alam turut bersedih. Di Indonesia, meskipun mayoritas penduduknya Sunni, banyak kalangan tetap menghormati semangat keadilan dan keberanian yang diwariskan dari peristiwa itu.
Dengan demikian, peringatan 10 Muharram di Indonesia tidak hanya menjadi pengingat atas peristiwa besar sejarah Islam, tetapi juga media untuk memperkuat nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Masyarakat dari berbagai latar budaya dan mazhab menjadikan Asyura sebagai momentum refleksi bersama.
Asyura di Indonesia merupakan bagian cermin dari wajah Islam Nusantara yang menghargai sejarah, memperkuat spiritualitas, dan memelihara harmoni sosial. Ia bukan hanya tentang masa lalu, melainkan juga tentang bagaimana kita menenun masa depan yang lebih adil, empatik, dan bermakna. (*)