• UMRAH & HAJI

Sepulang dari Tanah Suci, Penyakit Hati yang Diam-Diam Bisa Mengintai

Yahya Sukamdani | Senin, 23/06/2025
Sepulang dari Tanah Suci, Penyakit Hati yang Diam-Diam Bisa Mengintai Ilustrasi - Jamaah haji (foto:Kementerian Agama/ist)

Terasmuslim.com - Ibadah haji dan umrah sering dianggap sebagai titik puncak spiritual seorang muslim. Namun, tak sedikit yang lupa bahwa ujian sejati justru dimulai setelah kaki menginjak kembali tanah air. Di saat tubuh kembali ke rumah dengan status “haji” atau “hajjah”, ada satu hal yang kerap luput dijaga: kebersihan hati.

Sejumlah ulama mengingatkan, ibadah ke Tanah Suci sejatinya bukan hanya tentang ritual, tapi tentang perubahan batin. Namun dalam praktiknya, ada beberapa penyakit hati yang justru muncul setelah ibadah besar itu usai.

Salah satu penyakit hati yang sering tidak disadari adalah ujub, yakni rasa kagum berlebihan terhadap diri sendiri. Rasa bangga telah menunaikan haji atau umrah, jika tidak dikendalikan, bisa menimbulkan sikap merasa lebih suci dibanding orang lain. Padahal, dalam Islam, amalan yang diterima bukan dilihat dari bentuk luar, melainkan keikhlasan niat.

Tak hanya ujub, riya juga menjadi ancaman. Sikap ingin dipuji karena telah ke Tanah Suci sering kali muncul dalam bentuk postingan media sosial, cerita berulang-ulang, atau bahkan simbol-simbol status seperti gelar “H.” di depan nama yang dimanfaatkan untuk pencitraan. Dalam hadis riwayat Ahmad, Nabi ﷺ mengingatkan bahwa riya termasuk syirik kecil yang sangat halus.

Penyakit hati lainnya adalah takabur, yaitu merendahkan orang yang belum berhaji atau umrah. Kalimat-kalimat seperti “kapan kamu nyusul?” atau “enaknya kamu belum ada tanggungan ibadah besar” bisa menyakiti tanpa disadari. Ibadah seharusnya menumbuhkan kerendahan hati, bukan meninggikan diri.

Selain itu, sebagian orang merasa telah selesai menunaikan tugas spiritual, seolah-olah telah mencapai garis akhir. Padahal, haji dan umrah bukan akhir, melainkan awal dari tanggung jawab yang lebih besar, yakni menjaga kemabruran dan konsistensi amal.

Tak sedikit pula yang mengalami penurunan semangat ibadah setelah kembali ke kampung halaman. Shalat berjamaah yang sebelumnya rutin di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram mulai ditinggalkan, dzikir perlahan hilang, dan ibadah sunnah kembali terasa berat. Ini menunjukkan bahwa ibadah belum benar-benar masuk ke dalam hati.

Para ulama mengingatkan bahwa tanda haji mabrur bukan sekadar air zamzam atau oleh-oleh kurma, melainkan akhlak dan amal yang semakin baik setelah pulang. Allah tidak melihat siapa yang paling cepat ke Ka’bah, tapi siapa yang paling taat dan terus menjaga diri usai kembali.

Ibadah ke Tanah Suci adalah nikmat besar, namun bisa berubah menjadi beban jika tidak diikuti dengan rasa syukur dan rendah hati. Maka, menjaga hati setelah haji dan umrah adalah kunci untuk mempertahankan kemabruran yang hakiki.

Keywords :